Rabu, 18 April 2012

TEORI ADMINISTRASI NEGARA


PENGERTIAN DAN TIPE TEORI ADMINISTRASI NEGARA

A. Pengertian Teori Administrasi Negara
Teori
Secara umum , teori dipahami sebagai jargon atau ungkapan kata-kata yang kompleks untuk menjelaskan kejadian yang nampak sederhana. Teori  disamakan dengan pendapat, opini, dugaan atau spekulasi. In common usage, the word theory is often used to signify a conjecture, an opinion, , or a speculation…In this usage , the word synonimous with hyphothesis as in “my theory is that he never received my message” (Wikipedia)
Secara khusus , teori dalam lingkungan ilmu disebut teori ilmiah. In science, a theory is a mathematical or logical explanation, or a testable model of the manner of interaction of a set natural phenomena, capable of predicting future occurances or observations of the same kind, and capable of being tested through experiment or otherwise through empirical observation. (Wikipedia)
Berikut beberapa pengertian teori yang dikemukakan beberapa pakar (dalam Darwin,1997):
Schattschneider :
Mendefinisikan teori sebagai “the shortest way of saying something important” (cara tersingkat untuk menyatakan sesuatu yang penting ). Misal  konsep kemiskinan kultural merupakan cara terpendek untuk menjelaskan bahwa kemiskinan bukan hanya gejala ekonomi tapi tidak terlepas dari faktor budaya yang melekat pada orang miskin.
Joseph Eaton :
Merumuskan teori sebagai “a network of ideas about how two or more variables are related “ (jaringan ide yang menjelaskan hubungan antara dua variable atau lebih).


Teresa L. Baker :
Menjelaskan teori sebagai  “a proposed explanation for a set of coordinated occurances, or relationship” (penjelasan yang disusun untuk menerangkan relasi atau peristiwa yang saling berkaitan)
Kerlinger  :
Teori adalah serangkaian konsep, definisi, dan proposisi yang saling berhubungan yang disusun untuk memberikan gambaran yang sistematis tentang suatu fenomena ( A theory is a set of interrelated constructs (concepts), definitions, and propositions that present a systematic view of phenomena by specifying relations among variables, with the purpose of explaining and predicting the phenomena).
Untuk menjembatani teori dan praktek Harmon dan Meyer (dalam Darwin,1997) menyarankan agar teori (terutama dalam konteks administrasi negara) haruslah bersifat praktis dalam pengertian memiliki unsur-unsur diagnostik (bisa menjelaskan kenapa suatu situasi problematis tertentu terjadi), moral (apakah tujuan tertentu dapat dikatakan sebagai bermanfaat dan dengan cara apa) dan instrumental (bagaimana mencapai tujuan).
Administrasi Negara
Merumuskan apa yang dimaksud dengan administrasi negara atau administrasi publik tidaklah sederhana. Setiap pakar membuat definisi yang berbeda-beda. Perbedaan versi disebabkan  karena setiap pakar cenderung memandang administrasi negara dari satu sisi atau dimensi pokoknya, padahal administrasi negara tidak cukup dipahami hanya dari satu dimensi saja. Karena itu, problem dalam pendefinisian administrasi negara adalah tidak ada satu definisi yang dapat menggambarkan secara ringkas dan jelas apa yang dimaksud dengan administrasi negara.
Berikut ini definisi administrasi negara menurut beberapa pakar :
Gerald Caiden (1982):
Adminisrasi negara melingkupi segala kegiatan yang  berhubungan dengan penyelenggaraan urusan publik atau kebutuhan publik. Ruang lingkup administrasi  adalah bagaimana orang mengorganisir diri mereka sebagai publik secara kolektif dan dengan tugas dan kewajiban masing-masing memecahkan masalah publik untuk mencapai tujuan bersama.
    Public administration refers to the implementation of pronouncements made by recognized public officials appointed to further collective interests. It includes the organization of public affairs, social purposes and collective decision-making, the management of public institutions, public offices and public property, and the administration of the public officials, covering attitudes and behavior as wll as actions
Nigro dan Nigro (1984) :
    Administrasi  negara secara lebih khusus dapat dijelaskan sbg apa yg dilakukan oleh pemerintah, terutama lembaga eksekutif (dengan sarana birokrasi) , di dalam memecahkan masalah kemasyarakata/publik.
Harmon dan Mayer :
Pelaku utama dalam penyelenggaraan administrasi.publik adalah administrator publik, birokrat atau pegawai negeri. Mereka ini yang dibebani tugas pemerintahan dan pelayanan publik sehari-hari .
Namun karena proses administrasi publik sesungguhnya juga melibatkan banyak pihak di luar birokrasi pemerintah (seperti pekerja sosial, LSM,ormas,dan lain-lain), maka sektor non negara yang tindakannya mengatasnamakan kepentingan publik dan berdampak kepada masyarakat luas, juga menjadi pusat perhatian administrasi publik.
Chandler dan Plano (dalam Yeremias Keban,2004) :
            Proses dimana sumber daya dan personil publik diorganisir dan dikoordinasikan untuk memformulasikan, mengimplemetasikan, dan mengelola (manage) keputusan-keputusan dalam kebijakan publik
Administrasi publik merupakan seni dan ilmu (art and science) yang ditujukan untuk mengatur “public affair” dan melaksanakan berbagai tugas yang telah ditetapkan. Sebagai suatu disiplin ilmu, administrasi publik bertujuan untuk memecahkan masalah-masalah publik melalui perbaikan-perbaikan terutama di bidang organisasi  , sumber daya manusia dan keuangan
 Glen O. Stahl (dalam Caiden 1982) :
Karakteristik yang membedakan administrasi publik dengan administrasi lainnya adalah :
- Pelayanan yang diselenggarakan administrasi publik lebih bersifat urgen atau mendesak daripada diselenggarakan  organisasi  swasta
- Pelayanan oleh organisasi publik (negara) pada umumnya bersifat monopoli atau semi monopoli
- Kegiatan instansi negara (birokrasi) pada umumnya  terikat pada hukum formal (kebijakan publik)
            - Kegiatan negara atau pemerintah selalu mendapat sorotan publik
- Pelayanan publik tidak terikat pada harga pasar
Yeremias T.Keban (2004) :
Hakekat administrasi publik :
- Administrasi publik lebih berkaitan dengan dunia eksekutif,  meskipun juga berkaitan dengan dunia  yudikatif dan legislatif
- Administrasi publik berkenaan dengan formulasi dan implementasi kebijakan publik
- Administrasi publik berkaitan dengan berbagai masalah manusiawi dan usaha kerja sama untuk mengerjakan tugas-tugas pemerintah
- Meski berbeda dengan administrasi swasta tetapi administrasi publik overlapping dengan administrasi  swasta
- Administrasi  Publik diarahkan untuk menghasilkan barang dan jasa  publik
- Administrasi publik memiliki aspek teoritis dan praktis

Teori Administrasi Negara
Ilmu administrasi negara sejauh ini belum mampu menghasilkan teori yang secara khusus dapat disebut sebagai teori administrasi negara. Selama ini, ilmu administrasi negara mengadopsi atau meminjam teori-teori yang berkembang di disiplin ilmu lain untuk digunakan menjelaskan aktivitas atau perilaku dalam administrasi negara. Misalnya, motivasi dan partisipasi adalah konsep  yang dikembangkan ilmu psikologi dan ilmu politik, tetapi banyak dipakai dalam literatur administrasi negara untuk menjelaskan fenomena administrasi negara.
Sulit kita menemukan teori yang secara orisinil merupakan teori administrasi negara. Konsep efisiensi dikembangkan ilmu ekonomi atau manajemen. Konsep birokrasi, kelompok formal dan informal dari ilmu sosiologi. Karena itu,  Caiden (1982) menyatakan  “Public administration has not yet develop a systematic body of theory of its own. There  are theories in public administration, but there are few general theories of public administration…Meanwhile, public administration have borrowed ideas, methods, techniques, and approaches from other disciples and have applied them , with varying degrees of success , to public administration.
Sebagaimana dikatakan Caiden di atas, ilmu administrasi negara  belum mampu mengembangkan teorinya sendiri. Ada banyak teori dalam administrasi negara, tapi sedikit sekali teori umum tentang administrasi negara. Yang disebut sebagai teori administrasi selama ini sesungguhnya merupakan ide , konsep, metode atau  teori yang dipinjam dari ilmu lain.
Stephen Bailey (dalam Caiden 1982 ) menyatakan teori administrasi negara adalah :
the whole body of human knowledge whatever appears relevant and useful in explaining the nature of public administration, verifiable through observation or experiment and capable of predicting the behavior of public organizations and the people who compose them and come into contact with them. 
Bailey wants public administration theories to prescribe :
  • What conditions and relationships should exist in public administration ?
  • How should government be organized ?
  • How should public servants be selected ?
  • How should authority and responsibility be assigned in public agencies ?
  • What principles should govern direction ?
Pendapat Bailey di atas menyatakan bahwa teori administrasi negara mencakup semua ilmu (teori) yang relevan dan berguna untuk menjelaskan hakekat administrasi negara, yakni menjelaskan : kondisi dan relasi dalam administrasi negara, bagaimana mengorganisir pemerintahan, menyeleksi pegawai, pelimpahan wewenang dan pertanggungjawaban, serta prinsip-prinsip dalam administrasi negara.
Adapun tujuan teori administrasi negara menurut Bailey adalah :
…to draw together the insight of humanities and the validated propositions of the social and behavioral sciences and to apply the insights and propositions to the tasks of improving the processes of government and aimed at achieving politically legitimated goals by constitutionally mandated means.
Melihat karakteristik teori administrasi negara yang cenderung lintas disiplin, Bailey (dalam Darwin, 1997) berpendapat bahwa semua teori (dari disiplin ilmu mana pun) yang berguna untuk memberikan gambaran teoritis baik dalam bentuk wawasan atau proposisi dalam rangka meningkatkan kualitas proses administrasi pemerintahan adalah teori administrasi negara, atau paling tidak, layak dimasukkan dalam literatur administrasi negara  dan diterapkan dalam praktek administrasi negara
B. Tipe-Tipe Teori Administrasi Negara            
Bailey (dalam Darwin,1997) menjelaskan empat macam teori yang secara keseluruhan dapat memberikan kontribusi terhadap praktek administrasi negara, yaitu :
  • Teori Deskriptif – eksplanatif
  • Teori Normatif
  • Teori Asumtif
  • Teori Instrumental
Teori Deskriptif Eksplanatif                       
Teori deskriptif-eksplanatif memberikan penjelasan secara abstrak realitas administrasi negara baik dalam bentuk konsep, proposisi, atau hukum (dalil). Misalnya, konsep hirarki dari organisasi formal. Konsep ini menjelaskan ciri umum dari organisasi formal yaitu adanya penjenjangan dalam struktur organisasi.
Pada dasarnya teori deskriptif–eksplanatif menjawab dua pertanyaan dasar : apa dan mengapa (apa berhubungan dengan apa). Pertanyaan apa : menuntut jawaban deskriptif mengenai suatu realitas yang dijelaskan secara abstrak ke dalam suatu konsep tertentu. Misal : hirarki organisasi formal , konflik peran, dsb.  Pertanyaan mengapa atau apa berhubungan dengan apa menuntut jawaban eksplanatif atau diagnostik mengenai keterkaitan antara konsep abstrak tertentu dengan konsep abstrak lainnya. Misalnya, konflik peranan berhubungan dengan tipe kegiatan apakah departemental atau koordinatif. Kegiatan yang dilaksanakan satu departemen kurang begitu menimbulkan konflik peran dibanding jika kegiatan dilaksanakan secara koordinatif.
Teori Normatif
Teori normatif bertujuan menjelaskan situasi administrasi masa mendatang secara prospektif. Termasuk dalam teori ini adalah pernyataan atau penjelasan-penjelasan yang bersifat utopia yaitu suatu cita-cita yang sangat idealistis.
Teori normatif juga dapat dikembangkan dengan merumuskan kriteria-kriteria normatif yang lebih spesifik seperti efisiensi, efektivitas, responsivitas, akutabilitas, demokrasi, dan sebagainya. Teori normatif memberikan rekomendasi ke arah mana suatu realitas harus dikembangkan atau perlu dirubah dengan menawarkan kriteria-kriteria normatif tertentu.
Persoalan dalam teori normatif adalah bahwa kriteria-kriteria normatif yang ditawarkan  tidak selalu mendukung bahkan bisa saling bertentangan. Misalnya, penekanan yang terlalu tinggi pada efisiensi dapat mengorbankan pemerataan (equity). Sentralisasi yang berlebihan dapat menghambat atau membunuh nilai-nilai demokrasi seperti partisipasi, akuntabilitas publik, transparansi dan pemberdayaan masyarakat.
Kriteria-kriteria normatif dalam teori administrasi seringkali terkesan ambisius. Kontradiktif dan relatif (dibatasi ruang dan waktu). Namun teori normatif tetaplah penting karena kemajuan administrasi negara akan lebih terarah bila terlebih dahulu ditentukan kriteria yang tepat untuk mengukur kemajuan tersebut.
Teori Asumtif
Teori asumtif menekankan pada prakondisi atau anggapan adanya suatu realitas sosial dibalik teori atau proposisi yang hendak dibangun. Menurut Bailey  teori administrasi lemah dalam menyatakan asumsi-asumsi dasar tentang sifat manusia dan institusi. Tanpa asumsi yang jelas membuat teori menjadi utopis atau ahistoris karena tidak jelas dasar berpijaknya.
Contoh teori asumtif dalam administrasi publik adalah Teori X dan Y dari Douglas McGregor. Teori ini mengemukakan sua jenis asumsi yang berlawanan tentang sifat manusia. Teori X berasumsi bahwa pada dasarnya manusia malas dan suka menghindari pekerjaan, sedang teori Y berasumsi  bahwa manusia memiliki kemauan  untuk bekerja dan memiliki kemampuan untuk mengemban tanggungjawab yang dibebankan kepadanya. Masing-masing asumsi ini mempunyai implikasi dalam pengembangan teori manajemen atau kepemimpinan dalam organisasi.
Teori Instrumental
Pertanyaan pokok yang dijawab dalam teori ini adalah ’bagaimana’ dan ’kapan’. Teori instrumental  merupakan tindak lanjut dari proposisi “jika – karena”. Misalnya : Jika sistem administrasi berlangsung secara begini dan begitu, karena ini dan itu atau jika  desentralisasi dapat meningkatkan efektivitas birokrasi, maka strategi, tehnik, alat apa yang dikembangkan untuk menunjangnya.
Analisis kebijakan adalah contoh teori instrumentasl. Analisis kebijakan banyak menyumbangkan atau mengaplikasikan tehnik baik kuantitatif – aplikasi regresi, riset operasi, analisis biaya dan manfaat – maupun kualitatif (rasional maupun intuitif) untuk menjawab pertanyaan ’bagaimana’ dan ’kapan’ Jawaban terhadap pertanyaan ini berguna sebagai rekomendasi kepada pengambil kebijakan dalam menentukan langkah-langkah konkrit dalam proses kebijakan publik.
Sumber :
Jay M. Shafrittz dan Albert C.Hyde.1997. Classic of  Public Administration. Harcourt Brace College Publishers. Florida.
George Frederickson. 1997. The Spirit of Public Administration. Jossey-Bass Publisher. San Fransisco.
Gerald Caiden. 1982. Public Administration. Palisades Publisher. California.
Muhadjir Darwin. Teori Administrasi. Program Studi Magister Ilmu Administrasi  Program Pascasarjana Universitas 17 Agustus 1945

TEORI ORGANISASI DAN MANAJEMEN DALAM SEKTOR PUBLIK

A. Pengantar
Para ilmuwan yang memperdalam ilmu pemerintahan dan administrasi negara sering dihadapkan pada berbagai pertanyaan dan keraguan teori organisasi dan manajemen yang diajarkan pada kedua jurusan tersebut sebagai mata kuliah pokok jurusan. Keraguan-raguan ini disebabkan oleh adanya kritik bahwa teori organisasi dan manajemen yang selama ini diajarkan, yang lebih banyak mengacu pada organisasi swasta dan manajemen ilmiah dianggap kurang tepat untuk menjelaskan persoalan pemerintahan dan administrasi negara yang lebih banyak berkaitan dengan sektor publik.

Dewasa ini muncul saran dari pakar  kedua bidang ilmu tersebut untuk meninggalkan teori manajemen ilmiah yang normatif tersebut. Alasannya adalah bahwa teori manajemen ilmiah (POSDCORB) kurang relevan dengan konteks pemerintahan dan administrasi negara, dan bahwa ada kelemahan yang terkandung dalam prinsip-prinsip tersebut. Appleby, dan Waldo, misalnya tidak melihat bahwa doktrin manajemen ilmiah tersebut sebagai doktrin terbaik. Mereka melihatnya sebagai salah satu cara saja dari cara-cara yang ada. Begitu pula Simon, yang melihat bahwa ketidak-konsistenan yang terdapat dalam prinsip-prinsip manajemen ilmiah, misalnya antara prinsip span of management dengan prinsip communication.
Kritik yang demikian menuntut disusunnya teori organisasi dan manajemen baru yang dikenal dengan teori organisasi dan manajemen publik (OMP), yang diharapkan lebih relevan dan lebih tepat apabila diterapkan dalam pemerintahan dan administrasi negara. Tulisan singkat ini dimaksudkan untuk memberikan pengenalan tentang teori tersebut. perbedaannya dengan teori organisasi dan manajemen swasta (OMS), pendekatan-pendekatan yang dimilikinya, serta beberapa karakteristik OMP modern. Pembahasan ini dianggap penting  mengingat bahwa OMP mulai dipopulerkan untuk diajarkan baik di jurusan ilmu pemerintahan maupun administrasi negara dalam rangka memberikan bekal yang lebih relevan bagi para calon administrator publik, manajer publik, ahli analis kebijakan maupun para calon akademisi kedua disiplin keilmuan tersebut.
B. Batasan dan Ruang Lingkup 
Batasan tentang organisasi sangat bervariasi. Nicholas Henry (1988), setelah mempelajari berbagai batasan yang dikemukakan beberapa ahli seperti Victor A. Thompson, Chester A. Barnard, dan E. Wight Bakke, mengatakan bahwa kesimpulan dari berbagai batasan tersebut ternyata berbeda-beda. Atau dengan kata lain , setiap ahli memandang organisasi secara berbeda. Selanjutnya Henry (1988: 73) menyebutkan beberapa karakteristik yang pasti dari suatu organisasi adalah bahwa organisasi: 1) punya maksud tertentu, dan merupakan kumpulan berbagai macam manusia; 2) punya hubungan sekunder atau impersonal; 3) punya tujuan yang khusus dan terbatas; 4) punya kegiatan kerja sama pendukung; 5) terintegrasi dalam sistem sosial yang lebih luas; 6) menghasilkan barang dan jasa untuk lingkungannya; serta 7) sangat terpengaruh atas setiap perubahan lingkungan. Sedangkan khusus untuk organisasi publik dapat dirumuskan dengan menambah satu karakteristik lagi, yakni: memperoleh sumber-sumbernya (pajak dan legitimasi) dari negara, dan dijembatani oleh lembaga-lembaga kenegaraan. Organisasi publik sering terlihat pada bentuk organisasi instansi pemerintah yang juga dikenal dengan birokrasi pemerintah. Istilah birokrasi ini diberikan kepada instansi pemerintah karena pada awalnya tipe organisasi yang ideal yang disebut birokrasi merupakan bentuk yang diterima dan diterapkan oleh instansi pemerintah.

Manajemen publik tidak lain dari manajemen instansi pemerintah. Overman (dalam Keban, 1994) mengemukakan bahwa manajemen publik bukanlah “manajemen ilmiah”, meskipun sangat dipengaruhi oleh “manajemen ilmiah”. Manajemen publik juga bukan “analisis kebijakan”, bukan administrasi publik yang baru, atau kerangka yang lebih baru. Manajemen publik merefleksikan tekanan-tekanan antara orientasi “rational-instrumental” pada satu pihak, dan orientasi politik kebijakan di pihak lain. Manajemen publik adalah suatu studi interdisipliner dari aspek-aspek umum organisasi. Ia merupakan gabungan fungsi-fungsi manajemen seperti: perencanaan, pengorganisasian, dan pengawasan dengan sumber daya manusia, keuangan, fisik, informasi dan politik. Berdasarkan pandangan tersebut, Ott, Hyde dan Shafritz (1991:xi) mengemukakan bahwa manajemen publik dan kebijakan publik merupakan dua bidang pemerintahan yang tumpang tindih. Tapi untuk membedakan keduanya, dapat dikemukakan bahwa kebijakan publik merefleksikan “sistem otak dan syaraf’ , sementara manajemen publik mempresentasikan “sistem jantung dan sirkulasi” dalam tubuh manusia.
Catheryn Seckler Hudson (Shafritz & Hyde:1987) memberikan masing-masing penjelasan konsep organisasi di satu pihak  dan manajemen dipihak lain agar tidak membingungkan. Organisasi adalah pembagian dan unifikasi dari usaha dalam rangka mencapai suatu tujuan atau kebijakan. Manajemen didefinisikan sebagai pemanfaatan yang efektif sumber daya manusia dan material dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Jadi, berdasarkan pendapat Hudson, apabila digabungkan, OMP dapat diartikan sebagaipembagian dan pemanfaatan sumber daya manusia dan materi berdasarkan kebijakan publik yang diarahkan oleh pemerintah pusat dalam organisasi publik dengan menggunakan metode kerja, sistem informasi dan koordinasi yang efektif di dalam lingkungan publik yang dinamis.
Apa saja yang merupakan ruang lingkup kajian OMP merupakan hal penting yang perlu diperhatikan dalam memahami isu-isu yang berkembang di dalamnya.  Setidaknya, terdapat sejumlah arena yang merupakan ruang lingkup OMP, dimana pemerintah dituntut menerapkan pola bertindak yang berbeda pada masing-masing arena.
Harmon dan Mayer (1986) mengindikasikan adanya tiga arena OMP, yaitu:
1. Inter-organizational arena. Suatu arena dimana administrator publik bertindak sebagai wakil dan agen dari organisasi dalam berhubungan dengan organisasi-organisasi lain. Di arena ini terjadi hubungan antar organisasi, masing-masing aktor dalam melakukan hubungan mengemban misi dari organisasi yang diwakilinya. Dalam arena ini berbagai isu keorganisasian dapat muncul, misalnya bagaimana melakukan koordinasi antar intansi dalam penyelenggaraan program antar sektor, bagaimana menciptakan hubungan yang serasi dan dinamis antara intansi pusat dengan daerah, bagaimana memelihara hubungan antar organisasi pada tingkat lokal, nasional, regional, atau internasional.
2. Intra-organizational relations. Dalam arena ini yang menonjol adalah struktur internal yang mendefinisikan hubungan dalam organisasi. Hubungan ini dapat digambarkan dalam bagan yang menunjukkan siapa menjabat apa, siapa melapor kepada siapa dalam satu unit organisasi. Disini manusia dalam organisasi bertindak mewakili peranan individual yang dimainkan (sebagai kepala, sekretaris, atau bendahara) bukan sebagai pribadi yang utuh. Hal yang ditonjolkan di sini adalah bagaimana suatu peran berhubungan dengan peran lain. Dalam kerangka hubungan ini kita dapat membedakan antara organisasi formal dan organisasi informal. Pada organisasi formal, hubungan yang terjadi adalah dalam kaitanya dengan peran formal yang secara sah diemban oleh setiap aktor, sedangkan pada organisasi informal hubungan antar individu terjadi di luar peranan formal tersebut, tetapi berdasarkan kesepakatan tidak resmi atau tradisi. Dalam arena ini berbagai isu keorganisasian dapat muncul, misalnya bagaimana menentukan deskripsi kerja dan kordinasi kerja antar bagian dalam suatu organisasi, bagaiamana mengatur mekanisme pelaporan yang efisien atau sistem pengendalian yang efektif, dan sebagainya.
3. Organization to individual relations. Dalam arena ini hubungan yang terjadi adalah antara individu yang bertindak di bawah otoritas yang dimilikinya (nisalnya sebagai manajer atau sebagai kasir) dengan orang-orang lain sebagai pribadi baik yang ada di dalam atau di luar organisasi. Termasuk dalam kategori ini adalah hubungan antara manajer (mewakili kepentingan organisasi) dengan pekerja (mewakili kepentingan pribadi sebagai penjual tenaga), atau antara petugas lapangan (mewakili kepentingan organisasi) dengan kliennya (mewakili kepentingan pribadi mereka). Dalam arena ini berbagai isu keorganisasian penting dapat muncul, misalnya bagaimana memotivasi bawahan, bagaimana menyelesaikan konflik dalam organisasi, bagaimana menyelenggarakan pelayanan yang memuaskan kepentingan langganan, dan sebagainya.
Walaupun organisasi dan manajemen merupakan proses universal, tetapi ligkungan yang berbeda menuntut organisasi dan manajemen yang berbeda pula. Pembedaan terutama dapat dibuat antara OMP dan OMS. John T. Dunlop (Lane, 1986) mengemukakan sepuluh aspek yang secara tegas membedakan OMP dan OMS, yaitu:
1. Perspektif Waktu. Pejabat OMP cenderung mempunyai horison waktu yang lebih pendek karena masa kerjanya dibatasi oleh kalender politik (misalnya setiap lima tahun), sementara dalam OMS tidak terpengaruh oleh kalender politik tersebut sehingga horison waktunya dapat lebih panjang.
2. Lamanya Menjabat. Karena faktor tersebut pertama, jangka waktu manajer puncak/ pejabat tinggi dalam OMP secara relatif lebih pendek dibanding masa jabatan dalam OMS.
3. Ukuran Keberhasilan. Sulit jikapun ada kesepakatan tentang ukuran untuk menentukan keberhasilan pimpinan OMP, sementara untuk OMS sejumlah ukuran dapat disepakati, seperti: keuntungan finansial, luasnya pasar.
4. Kendala Kepegawaian. Pegawai negeri lebih sulit dikendalikan (dibuat menjadi lebih efisien, produktif, jujur) ketimbang pegawai swasta.
5. Kesamaan dan Efisiensi. Di sektor publik tekanan lebih diberikan kepeda peningkatan kesamaan manfaat dari suatu program publik untuk berbagai kelompok masyarakat, sementara di sektor swasta tekanan utamanya pada peningkatan efisiensi.
6. Proses Publik Lawan Proses Swasta. OMP lebih cenderung disorot masyarakat luas, sementara OMS cenderung kurang disorot atau lebih merupakan proses internal.
7. Peranan Media Massa. OMP harus senentiasa berhadapan dengan media massa yang meliput aktivitas dan melaporkan kinerjanya, sementara hal serupa kurang banyak terjadi dalam OMS.
8. Persuasi dan Pengarahan. Pejabat publik cenderung bersikap kompromis terhadap tekanan yang saling berlawanan, sementara pimpinan swasta kurang memperoleh tekanan semacam itu sehingga tidak banyak mengalami kontradiksi-kontradiksi dalam mengambil keputusan.
9. Dampak Legislatif dan Judisial. Pejabat publik seringkali menerima pengawasan dari legislatif atau bahkan dipengaruhi oleh keputusan peradilan, sementara pimpinan swasta lebih leluasa untuk bertindak.
10. Misi. Misi pemerintah sering terlalu abstrak, kurang operasional dibanding organisasi swasta (misalnya mencari untung, memperluas pasar, atau menjaga kelangsungan organisasi).
Namun demikian, pembedaan OMP dan OMS dari sudut kepublikan (publicness) masih menjadi polemik dalam literatur organisasi dan manajemen. Benar bahwa organisasi publik mempunyai warna publik yang menonjol. Tetapi organisasi swasta juga warna publik. Barry Bozeman (1987), dalam bukunya “All Organizations Are Public: Bridging Public and Private Organizational Theories” berpendapat bahwa “some organizations are governmental, but all organizations are public, “ dan kepublikan (publicness) dipandang sebagai kunci dalam memahami perilaku organisasi dan manajemen di semua organisasi, tidak hanya organisasi pemerintahan.
Kepublikan yang dimaksud oleh Bozeman adalah “ the degree to which the organization is affected by political authority”. Dalam hal ini organisasi swasta pada derajat tertentu dipengaruhi oleh otoritas publik, dan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh organisasi pemerintah, misalnya kontrol media massa, tidak adanya bottom line, pengaruh politik dalam pengambilan keputusan, dialami juga oleh organisasi swasta. Karena itu organisasi publik tidak cukup diartikan sebagai organisasi pemerintah, dan organisasi non-pemerintah dapat juga disebut sebagai organisasi publik.
C. Pendekatan OMP 
Karena adanya perbedaan-perbedaan yang jelas antara OMP dan OMS, maka studi OMP perlu menggunakan pendekatan yang berbeda dengan studi OMS. John J. Dilulio, Jr (1989) mengusulkan pendekatan yang harus diambil dalam studi OMP, yaitu:

1. Pendekatan Normatif.
Pendekatan normatif melihat organisasi dan manajemen sebagai suatu proses penyelesaian tugas atau pencapaian tujuan. Efektivitas dari proses tersebut diukur dari apakah kegaitan-kegiatan organisasi direncanakan, diorganisir, dikoordinasikan, dan dikontrol secara lebih efsien. Organisasi Manajemen Normatif (OMN) sejak pembentukannya lebih bersifat “profit oriented” atau “business oriented” dan karena itu dianggap tidak cocok dengan ideologi pemerintahan dan administrasi negara yang lebih beorientasi kepada “public service”. OMN tersebut mendapat pengaruh yang kuat dari POSDCORB dan manajemen klasik.
Namun demikian, hal ini tidak berarti OMN harus dikesampingkan. dalam konteks tertentu dari “public service” itu, OMN masih penting peranannya, misalnya dalam menangani pekerjaan BUMN dan BUMD.

Badan-badan tersebut lebih berorientasi pada upaya mencari keuntungan buat daerah dalam rangka menunjang pembangunan di daerah sehingga lebih cenderung berpegang kepada prinsip-prinsip manajemen perusahaan. OMN yang sudah memanfaatkan kemajuan “science”, mutlak diperlukan.
Termasuk dalam pendekatan tersebut adalah beberapa fungsi yang sangat bersifat universal, yang dapat diperinci sebagai berikut:

a) Planning: suatu proses pengambilan keputusan tentang apa tujuan yang harus dicapai pada kurun waktu tertentu di masa mendatang dan apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Proses tersebut terdiri dari dua elemen, yaitu penetapan tujuan dan menentukan kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Fungsi ini menghasilkan dan mengintegrasikan tujuan, strategi, dan kebijakan.
b) Organizing: suatu proses pembagian kerja (division of labour) yang disertai dengan pendelegasian wewenang. Organizing sangat bermanfaat dalam memberikan informasi tentang garis kewenangan agar setiap anggota dalam organisasi bisa mengetahui apa kepada siapa dia memberi perintah dan dari siapa dia menerima perintah. Organizing juga diperlukan untuk memperbaiki efisiensi kerja dan kualitas pekerjaan melalui “synergism” yang baik dimana orang bekerja bersama-sama akan meberikan output yang lebih besar daripada bekerja secara sendiri-sendiri. Disamping itu,organizing juga dapat memperbaiki komunikasi. Suatu struktur organisasi yang jelas dapat menggambarkan garis komunikasi antar anggota.
c) Staffing: suatu proses untuk memperoleh tenaga yang tepat, baik dalam jumlah maupun kualitas sesuai dengan kebutuhan pekerjaan dalam organisasi.
d) Coordinating: suatu proses pengintegrasian kegiatan-kegiatn dan terget/ tujuan dari berbagai unit kerja dari suatu organisasi agar dapat mencapai tujuan secara efisien. Tanpa kordinasi, individu-individu dan bagian-bagian yang ada akan bekerja menuju arah yang berlainan dengan irama/ kecepatan yang berbeda-beda. Demikian pula, tanpa koordinasi, masing-masing bekerja sesuai dengan kepentingannya masing-masing dengan mengorbankan kepentingan organisasi secara keseluruhan.
e) Motivating: suatu proses pemberian dorongan kepada para anggota organisasi agar mereka dapat bekerja sesuai dengan tujuan organisasi. Proses tersebut dapat dipahami melalui suatu mekanisme berikut: Kebutuhan mempnegaruhi dorongan kerja, dan dorongan kerja mempengaruhi pencapaian tujuan. Berdasarkan mekanisme tersebut, seorang manajer harus memahami hakekat kebutuhan manusia dan dorongan kerjanya.
f) Controlling: suatu fungsi manajemen yang mencari kecocokan antara kegiatan-kegiatan aktual dengan kegiatan-kegiatan yang direncanakan. Fungsi tersebut sangat berkaitan dengan perencanaan yaitu merupakanfeedback bagi perencanaan pada masa yang akan datang.
2. Pendekatan Deskriptif
Pendekatan Organisasi Manajemen Deskriptif (OMD) menurut Mintzberg, 1973 menggambarkan bahwa dalam kenyataannya seorang manajer lebih terlibat dalam melakukan kegiatan-kegiatan personal, interaktif, administratif, dan teknis, bukan kegiatan-kegiatan yang tergolong dalam pendekatan OMN di atas.

a) Kegiatan personal: adalah suatu kegiatan yang dilakukan manajer publik untuk mengatur waktunya sendiri, berbicara dengan para broker, menghadiri pertandingan  dan kegiatan-kegiatan lain yang memuaskan dirinya atau keluarganya. Dalam konteks organisasi, kegiatan-kegiatan ini mungkin dianggap tidak penting, tetapi sebagai manusia, seorang manajer publik pasti terlibat, bahkan kadang-kadang menentukan keberhasilan kariernya. Seorang manajer publik yang berhasil mengatur kegiatan-kegiatan persoanlnya akan lebih sukses dalam memimpin organisasi.
b) Kegiatan interaktif: Manajer publik biasanya menggunakan banyak waktu untuk melakukan interaksi dengan bawahan, atasan, pelanggan, organisasi lain, dan pemimpin-pemimpin masyarakat. Biasanya dua pertiga dari waktu yang ada digunakan untuk kegiatan-kegiatan tersebut. Peranan yang dimainkan oleh manajer publik dalam konteks tersebut terdiri dariinterpersonal, informational, dan decision making.
c) Kegiatan administratif: Kegiatan ini mencakup surat-menyurat, penyediaan dan pengaturan budget, monitoring kebijakan dan prosedur, penanganan masalah kepegawaian. Biasanya para manajer publik hanya menggunakan sebagian kecil saja dari waktu yang tersedia. Meskipun demikian, pengalaman menunjukkan bahwa banyak manajer publik yang mengeluh dengan kegiatan-kegiatan tersebut.
d) Kegiatan teknis: Kegiatan ini merupakan kegiatan seorang manajer publik untuk memecahkan masalah-masalah teknis, melakukan supervisi terhadap pekerjaan teknis, dan bekerja dengan menggunakan peralatan-peralatan dan perlengkapan-perlengkapan.
Disamping pandangan deskriptif yang dikemukakan oleh Mintzberg tersebut, ada juga pendekatan deskriptif  PAFHRIER yang didasarkan atas penemuan Garson dan Oveman (Keban, 1995) tentang apa yang dilakukan oleh manajer publik di Amerika Serikat. PAFHRIER merupakan singkatan dari Policy Analysis, Financial Management, Human Resource Management, Information Management, dan External RelationsPolicy analysis merupakan pengembangan lebih lanjut dari planning dan reporting;human resource management merupakan pengembangan dari staffing, directing dan coordinatingfinancial management merupakan pengembangan dari budgeting; dan information management merupakan pengembangan dari reporting, directing, dan coordinating.
Isi dari masing-masing pendekatan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Policy Analysis.  Tugas pertama dari para manajer publik adalah melakukan analisis kebijakan publik. Perlu diperhatikan bahwa hanya manajer publik pada level yang lebih tinggi atau yang diberi wewenang dan tanggung jawab yang melakukan tugas tersebut. Tugas tersebut meliputi tiga kegiatan pokok yaitu perumusan masalah, identifikasi alternatif, dan proses seleksi alternatif.
b). Financial Management. Inti manajemen keuangan publik adalah bagaimana mengatur anggaran. Suatu anggaran publik adalah: 1) suatu pernyataan fiskal yang menggambarkan pendapatan dan pengeluaran dari semua unit-unit organisasi pemerintah, dan 2) suatu mekanisme untuk menegndalikan, mengatur, mengimplementasikan dan mengevaluasi semua kegiatan dari instansi pemerintah.
c) Human Resource Management. Dalam manajemen sumber daya manusia ada tiga hal pokok yang harus dipertimbangkan. Pertama, menyangkut bagaimana memperoleh SDM dalam jumlah dan kualitas yang tepat. Kedua, bagaimana meningkatkan kualitas pengembangan SDM sedemikian rupa sehingga mereka dapat bekerja sebaik mungkin dan dengan semangat yang tinggi, dan ketiga, bagaimana memimpin dan mengendalikan mereka sesuai dengan tujuan organisasi.
d) Information Management. Manajemen informasi sangat penting dalam suatu organisasi lebih-lebih organisasi yang telah berkembang dan kompleks. Informasi-informasi yang digunakan dalam perencanaan, pengambilan keputusan, penilaian pekerjaan, sistem monitoring dan pengendalian, harus ditata, disusun dan disimpan secara teratur, sehingga dapat dengan mudah diperoleh apabila dibutuhkan. Pengelolaan informasi tersebut kini sangat menentukan keberhasilan suatu organisasi, dan karenanya dikelola dalam suatu bidang disiplin yang disebut MIS (Management Information System).
e) External Relations. Suatu organisasi publik berada dalam suatu lingkungan yang sangat mempengaruhi dinamikanya. Karena itu, suatu organisasi harus menjaga hubungan luar. Lingkungan ini pada prinsipnya berasal dari organisasi lain atau unit lain, maupun masyarakat luas. Unit lain dalam organisasi yang sama, tidak dapat disangkal merupakan partner kerja yang sangat penting dalam rangka mencapai tujuan organisasi.
D. Menuju OMP Modern
OMP modern disebut oleh Max Weber sebagai birokrasi. Birokrasi adalah institusi formal yang ditata berdasarkan atas legitimitas rasional, mendasarkan diri pada peraturan-peraturan yang bersifat impersonal, orang yang bekerja di dalamnya menganggap pekerjaan di birokrasi sebagai karier, mereka masuk ke dalam birokrasi melalui proses seleksi yang obyektif didasarkan atas kriteria profesionalisme, dan di dalam birokrasi tersedia jenjang-jenjang karier dengan sistem konpensasi yang jelas.

Secara lebih operasional, Luther Gulick mengemukakan prinsip-prinsip OMP modern yang diasumsikan bersifat universal (validitasnya tidak dibatasi oleh tempat dan waktu). Prinsip-prinsip yang dikemukakannya adalah sebagai berikut:
1. The Division of Work
Karena setiap manusia berbeda dalam sifat, bakat, kemampuan dan ketrampilan, maka diperlukan pembagian kerja. Manusia yang sama tak mungkin berada di dua tempat yang berbeda pada saat yang sama. Cakrawala pengetahuan dan ketrampilan itu begitu luasnya sehingga sepanjang hayatnya seseorang hanya akan mampu menguasai sebagian kecil diantaranya. Waktu dan ruang membatasi kemampuan seseorang. Oleh karena itu, pembagian kerja merupakan kebutuhan setiap organisasi, bagaimanapun sederhananya. Tetapi pembagian kerja semakin dituntut seiring dengan perkembangan industrialisasi, karena ketika proses produksi menjadi kompleks, menggunakan  teknologi yang semakin canggih, dan skala produksi yang semakin tinggi, tidak mungkin satu orang mengerjakan segalanya.

Namun pembagian kerja ada batasnya. Pada batas tertentu, pembagian kerja tidak dapat dikembangkan lebih jauh lagi. Ada beberapa faktor yang menentukan batas pembagian kerja (limits of division). Faktor pertama bersifat praktis, yaitu menyangkut  alokasi waktu setiap pekerja. Pembagian kerja tidak boleh sampai membuat masing-masing pegawai membutuhkan waktu yanglebih pendek untuk menyelesaikan tugasnya dari seluruh waktu kerjanya. Ringkasnya, jangan sampai pembagian kerja justru menimbulkan pengangguran terselubung. Faktor kedua berkenaan dengan tekologi atau kebiasaan.
Dalam beberapa kasus, pekerjaan yang berbeda kadang-kadang justru lebih efektif apabila dikerjakan oleh orang yang sama. Misalnya, untuk kantor yang tidak terlalu besar, pekerjaan kesekretariatan (mengetik, filing surat, dll) dan penerimaan telepon (bell-boy) dapat diperankan oleh orang yang sama. Demikian pula di sejumlah pabrik pekerjaan elektronik dan perbaikan ledeng justru lebih efektif jika digabungkan. Batasan ketiga adalah pembagian kerja hanya tepat jika sifatnya fisik, bukan organik. Misalnya, tidak ada manfaatnya jika seorang perawat kendaraan dinas diberi pekerjaan khusus merawat hanya bagian depan kendaraan dan bagian belakang secara khusus diberikan kepada petugas lainnya.
2. Koordinasi Kerja
Dalam melakukan pembagian kerja terdapat suatu kesatuan tugas yang besar (the whole) perlu diperhatikan integrasi bagian-bagian (parts). Untuk bisa demikian harus ada koordinasi kerja. OMP dengan struktur otoritas yang ada dan jaringan komunikasi antara eksekutif di pusat dengan para stafnya merupakan cara terbaik untuk  mencapai koordinasi. Struktur otoritas ini tidak hanya terdiri dari banyak orang yang bekerja sendiri di banyak tempat pada waktu tertentu, tetapi juga Atasan tunggal yang mempunyai otoritas untuk mengatur pekerjaan orang-orang tersebut. Beberapa prinsip yang perlu diperhatikan agar terjadi koordinasi kerja yang baik, yaitu: rentang kontrol (the span of control), satu bos (one master), efisiensi teknis (technical efficiency), dan pengendalian pimpinan (caveamus expertum).

Dari pandangan beberapa pakar lainnya tentang formulasi OMP modern, juga dapat diamati bahwa ciri-ciri ilmiah sangat menonjol. Kecuali itu, ciri-ciri  sosio-psikologis juga mengemuka. Hal ini disebabkan karena para manajer publik terkelompokkan dalam lingkungan sosiaologik, sedangkan secara perorangan setiap manajer publik merupakan faktor produksi yang peka terhadap perubahan perilaku yang psikologis. Jadi, ciri-ciri sosio-psikologis dapat dikenakan pada OMP.
Seementara itu, keikutsertaan seluruh anggota manajemen, menuntut pengelolaan yang khas bagi SDM (HRD). Dengan cara itu, OMP modern juga memerlukan SDM yang profesional dan memiliki pola karier yang mantap. Dalam implementasinya, pengembangan SDM melekat secara langsung pada manajemen organisasi publik. OMP modern, dengan demikian secara lekat pula menggiatkan organisasi itu disamping memerlukan penyesuaian terhadap perubahan waktu. Ciri-ciri yang ditandai dengan keilmiahan, sosio-psikologis, pengembangan SDM, dan waktu serta dipergunakannya prinsip-prinsip eksprimentasi, kalkulasi, analitik, manfaat bagi masyarakat, kemahiran bermanajemen bagi perorangan dan kelompok, koordinasi yang lancar antar kelompok dan perorangan, program budaya kerja, dan manajemen strategis, secara jelas membedakan OMP modern dengan OM lainnya.
Pada tingkat perkembangan global dewasa ini, setiap sistem OMP merupakan sistem OM terbuka dan harus membuka diri dan menyatu dengan lingkungannya (bersifat kontingensial). Kontingensi dan interaksi antara suatu sistem OMP dengan lingkungan sosial politik, ekonomi dan budaya melahirkan kebutuhan yang bersasaran ganda, yaitu: 1) pemahaman akan posisi dan peranan OMP dalam kerangka kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara, dan juga sebagai warga dunia dengan kondisinya yang selalu berkembang secara dinamis menurut ruang dan waktu; dan 2) peningkatan kemampuannya dalam memberikan jawaban atas tantangan, peluang, ataupun kendala yang dihadapi baik intern (inter administrative system) maupun ekstern (dalam kontingensi dan interaksi dengan lingkungannya), secara tepat, efektif dan efisien sehingga mampu mencapai tujuan secara optimal.
Untuk mencapai sistem OMP yang demikian, diperlukan “pembangunan OMP” dengan pendekatan antardisiplin, namun tetap perlu memperhatikan kehadiran berbagai dimensi OM secara proporsional. Dimensi-dismensi pokok yang senantiasa melekat atau terkandung didalam sistem OMP modern adalah: dimensi nilai, dimensi struktural, dimensi fungsional, dimensi teknologi dan informasi, dan dimensi perilaku. Dalam praktek, kelima dimensi tersebut merupakan satu kesatuan “sistemik”, meskipun secara analitis dapat dipisahkan.
Dalam konteks pembangunan dan dinamika lingkungan yang kompleks dan luas dewasa ini, sistem OMP diisyaratkan untuk dapat berperan dan mengembangkan diri sebagai suatu sistem manajemen strategis, yang ditandai antara lain dengan keterpaduannya dalam menyelenggarakan keseluruhan siklus dan hirarki kebijakan. Sejalan dengan posisi dan peranan demikian, sistem OMP dapat memanfaatkan antara lain studi “analisis kebijakan”, manajemen berdasarkan sasaran (MBO), sistem informasi dan komputer, sibernetik, di samping teknik-teknik perencanaan termasuk “strategic planning” yang selama ini telah dikenal. Dalam analisis kebijakan, permasalahan ekonomi, kemasyarakatan dan pemerintahan (public affairs), yang lazimnya memepunyai interdependensi yang kompleks, cenderung dikaji secara “sistemik”. Pendekatan analisis sistem (system analysis) dimana teori pengambilan keputusan (decision making theory), ilmu manajemen (management science), penelitian operasi (operation research), ekonomitrika (econometrics), dan berbagai pendekatan kuantitatif lainnya, merupakan peralatan yang dapat digunakan dalam perencanaan dan analisis kebijakan, di samping substansi disipliner ekonomi, politik, administrasi, pendidikan, kependudukan, bisnis dan sebagainya. Dalam rangka pembentukan kebijakan publik diperlukan pula pengamatan mengenai keseluruhan unsur sistemik seperti struktur, fungsi dan perilaku kelembagaan dalam penyusunan kebijakan dan “pengambilan keputusan” ataupun dalam tahapan manajerial lainnya.
Akhirnya, sukses penerapan berbagai ciri-ciri, prinsip-prinsip, maupun berbagai dimensi “OMP  modern” tersebut dalam PJP II akan dapat diukur antara lain dari perubahan-perubahan perilaku yang ditandai oleh kemampuan aparatur negara dalam menerapkan kaidah-kaidah penuntun sebagaimana diamanatkan GBHN, peningkatan efisiensi dan produktivitas aparatur negara, serta peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
DAFTAR PUSTAKA
Darwin, Muhadjir, Teori Organisasi Publik, Magister Administrasi Publik UGM, Yogyakarta, 1994.
Denhart, Robert B., Theories of Public Organization, Montery CA: Books/ Cole Publishing Company, 1984.
Harmon, Michael M. dan Richard T. Mayor, Organization Theory for Public Administration, Boston: Little, Brown & Co, 1986.
Henry, Nicholas, Administrasi Negara dan Masalah-masalah Kenegaraan, Rajawali Pers, Jakarta, 1988.
Keban, Yeremias T., Manajemen Publik dalam Konteks Normatif dan Deskriptif, Laporan Penelitian Jurusan Ilmu Administrasi Negara, Fisipol UGM, Yogyakarta, 1994.
————————, Pengantar Administrasi Negara, Modul Untuk Matrikulasi PS Administrasi Negara Program Pasca Sarjana UGM, 1995.
Lane, Frederick S., Current Issues in Public Administration (third edition), New York: St. Martin’s Press, 1986.
Mustopadidjaja, “Dimensi-dimensi Teoritis Manajemen Modern” dalamManajemen Pembangunan, No. 10/III, 1995.
Shafritz, J.M., dan A.C. Hyde, Classics of Public Administration, Pacific Grove, CA: Brooks/ Cole Publishing Company, 1987.
Shafritz J.M., Ott J.S, dan A.C. Hyde, Public Management: The Essential Reading, Chicago, Il: Lyceum Books/ Nelson-Hall Publisher, 1991.
Sukarno, Suyoso, “Pengembangan dan Penerapan Prinsip-prinsip Manajemen Modern Sesuai dengan Budaya Bangsa”, dalamPembaharuan Administrasi Dalam Menghadapi Era Globalisasi, Pimpinan Pusat PERSADI, Jakarta, 1995.


TEORI ADMINISTRASI PUBLIK

Posted by esasafiani93 in 19. Apr, 2012, under Uncategorized
A. Pengertian
Administrasi publik terdiri dari dua kata, yaitu administrasi dan publik. Administrasi diartikan sebagai kegiatan atau kerjasama dalam rangka mencapai tujuan yang sudah ditentukan atau diarahkan. Definis lainnya yang dapat diajukan adalah kegiatam implementasi kebijakan.
Sedangkan publik dapat diartikan sebagai negara, klien, konsumen, warga masyarakat, dan kelompok kepentingan. Tetapi dalam wacana di Indonesia lebih berkembang administrasi publik disamakan dengan administrasi negara.
Dari pengertian dua kata tersebut, maka administrasi publik dapat diartikan sebagai sebuah proses menjalankan keputusan/kebijakan untuk kepentingan negara, warga masyarakat. Terdapat pengertian yang singkat, administrasi publik merupakan metode pemerintahan negara (proses politik) administration of publik, for public dan by public. Dengan demikian administrasi publik merupakan proses pemerintahan publik, untuk publik dan oleh publik.

B. Paradigma dalam Administrasi Publik
Paradigma adalah teori dasar atau cara pandang yang fundamental, dilandasi nilai-nilai tertentu, dan berisikan teori pokok, konsep, metodologi atau cara pendekatan yang dapat dipergunakan para teoritisi dan praktisi dalam menanggapi sesuatu permasalahan baik dalam pengembangan ilmu maupun kemajuan hidup. Dalam ilmu administrasi publik terdapat beberapa paradigma antara lain:
1. Paradigma dikotomi politik dan administrasi negara. Fokusnya terbatas pada maslah-masalh organisasi dan penyusunan anggaran dalam birokrasi pemerintahan, politik dan kebijakan merupakan substansi ilmu politik. Tokoh-tokohnya Frank J Goodnow dan Leonard D. White.
2. Paradigma Prinsip-prinsip administrasi. Locusnya kurang dipentingkan. Fikusnya adalah “prinsip-prinsip” manajerial yang dipandang berlaku universal pada setiap bentuk organisasi dan lingkungan budaya. Tokohnya adalah Gulick dan Urwick, F.W. Taylor, Henry Fayol, Mary Parker Follet, dan Willooghby.
3. Paradigma administrasi negara sebagai ilmu politik. Administrasi negara kembali menjadi bagian dari ilmu politik. Pelaksanaan prinsip-prinsip administrasi sangat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor lingkunga, jadi tidak “value free” (bebas nilai). Tokoh pardigma ini adalah Nicholas Henry.
4. Paradigma administrasi negara sebagai ilmu administrasi. Administrasi tetap menggunakan prinsip administrasi yang dipengaruhi berbagai faktor, oleh karena itu dalam paradigma ini mengembangkan adanya pemahaman sosial psikologi, dan analisis sistem untuk melengkapi. Tokoh paradigma ini adalah Henderson, Thompson, Caldwen.

C. Teori dalam Administrasi Publik
Teori adalah rangkaian ide mengenai bagaimana dua variabel atau lebih berhubungan. Terdapat beberapa kelompok teori dalam administrasi negara, antara lain:
1) Teori deskriptif eksplanatif, merupakan teori yang bersifat memberi penjelasan secara abstrak realitas administrasi negara. Misalnya teori yang menjelaskan tentang ketidakmampuan administratif.
2) Teori normatif, yaitu teori yang bertujuan menjelaskan situasi masa mendatang, idealnya dari suatu kondisi. Misalnya teori tentang kepemimpinan ideal masa depan.
3) Toeri Asumtif, yaitu terori-teori yang menekankan pada prakondisi, anggapan adanya suatu realitas sosial dibalik teori atau proposisi. Misalnya Teori X dan Y dari McGregor yang menyakan manusia mempunyai kemampuan baik (Y) dan kurang baik (X)
4) Teori Instrumental, yaitu teori-teori yang memfokuskan pada “bagaimana dan kapan”, lebih pada penerapan atau aplikasi dari teori. Misalnya teori tentang kebijakan, bagaimana kebijakan dijalankan dan kapan waktunya.

D. Isu-Isu Penting
Ada beberapa isu atau permasalan penting yang sering dibahas dalam ilmu administrasi negara antara lain :
1) Pelayanan publik
Administrasi publik sebagai proses administrasi for publik, pada hakekatnya adalah memberi pelayanan publik. Hal ini sejalan dengan demokrasi yang mana masyarakat mempunyai hak yang sama untuk menerima pelayanan dari pemerintah. Dalam masalah ini yang terpenting adalah bagaimana pemerintah/negara memberikan pelayanan yang baik, cepat dan berkualitas kepada seluruh warga masyarakat.
2) Motivasi Pelayanan Publik
Dalam masalah ini isu terpenting adalah membahas motivasi seperti apa yang dimiliki oleh administrator dalam memberikan pelayanan publik. Ada yang berdasarkan norma, rasional dan perasaan.
3) Maladministrasi
Maladministrasi merupakan kesalahan dalam praktekt administrasi. Pembahasan teori administrasi publik juga akan membahas masalah kesalahan-kesalahan tersebut sebagai kajian utama, seperti lambannya birokrasi, rutinitas dan formalitas pelayanan.
4) Etika Administrasi Publik
Masalah penting lainnya dalam administrasi publik adalah etika administrasi. Dalam hal ini yang menjadi sorotan adalah nilai baik dan buruk. Apakah pelayanan atau prosedur administrasi publik dinilai baik atau buruk oleh masyarakat. Dalam hal ini termasuk korupsi menjadi bahasan utama.
5) Kinerja dan Efektivitas
Seringkali masalah kinerja dan efektivitas menjadi isu sentral dari administrasi publik. Hal tersebut dipahami karena administrasi sebagai proses mencapai tujuan, maka persoalan pencapaian dan dan cara mencapai tersebut menjadi penting. Oleh karena itu bagaimana cara kerja (kinerja) yang dijalankan apakah sudah baik sehingga tujuan dapat tercapai (efektif).
6) Akuntabilitas Publik
Administrasi publik yang dijalankan oleh pemerintah harus bisa dipertanggungjawabkan kepada seluruh warga. Ada kewajiban untuk melakukan pekerjaan yang dapat dikontrol, diawasi dan dipertanggungjawabkan kepada warga/publik. Hal tersebut merupakan masalah pokoknya.



Selasa, 17 April 2012

sistem politik indonesia


  • Pengertian Sistem
Menurut Pamudji, sistem adalah :
“Suatu kebulatan atau keseluruhan yang komplek atau terorganisir, suatu himpunan atau perpaduan hal-hal atau bagian-bagian yang membentuk suatu kebulatan atau keseluruhan yang komplek atau utuh.”
Menurut Prajudi, sistem adalah :
“Suatu jaringan daripada prosedur-prosedur yang berhubungan satu sama lain menurut skema atau pola yang bulat untuk menggerakkan suatu fungsi yang utama dari suatu usaha atau urusan.”
Menurut Sumantri, sistem adalah:
“Sekelompok bagian-bagian yang bekerja bersama-sama untuk melakukan suatu maksud. Apabila salah satu bagian rusak atau tidak dapat menjalankan tugasnya maka maksud yang hendak dicapai tidak akan terpenuhi atau setidak-tidaknya sistem yang sudah terwujud akan mendapat gangguan.
Jadi sistem adalah kesatuan yang utuh dari sesuatu rangkaian, yang kait-mengkait satu sama lain, bagian atau anak cabang dari suatu sistem, menjadi induk dari rangkaian selanjutnya. Begitulah seterusnya sampai pada bagian yang terkecil, rusaknya salah satu bagian akan
mengganggu kestabilan sistem itu sendiri secara keseluruhan.
Ø Pengertian Politik
Politik dalam bahasa Arabnya disebut “Siyasah” yang kemudian diterjemahkan menjadi siasat, atau dalam bahasa Inggrisnya “Politics”. Politik itu sendiri memang berarti cerdik, dan bijaksana yang dalam pembicaraan sehari-hari kita seakan-akan mengartikan sebagai suatu cara yang dipakai untuk mewujudkan tujuan, tetapi para ahli politik sendiri mengakui bahwa sangat sulit memberikan definisi tentang ilmu politik.
Politik adalah suatu disiplin ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri tetapi juga seni, dikatakan sebagai seni karena berapa banyak kita melihat politikus yang tanpa pendidikan ilmu politik, tetapi mampu berkiat memiliki bakat yang dibawa sejak lahir dari naluri sanubarinya, sehingga dengan kharismatik menjalankan roda politik praktis. Dapat dikatakan sebagai ilmu karena memiliki objek, subjek, terminology, cirri, teori, filosofis dan metodologis yang khas dan spesifik serta diterima secara universal, disamping dapat diajarkan dan dipelajari oleh orang banyak.
Ø Pengertian Sistem Politik
Gabriel Almond memberikan pengertian sistem politik adalah merupakan sistem interaksi yang ditemui dalam masyarakat merdeka, yang menjalankan fungsi integrasi dan adaptasi.
Sementara itu, menurut Robert Dahl sistem politik mencakup dua hal yaitu pola yang tetap dari hubungan antar manusia, kemudian melibatkan sesuatu yang luas tentang kekuasaan, aturan dan kewenangan.
Dalam hal ini sistem politik Indonesia diartikan sebagai kumpulan atau keseluruhan berbagai kegiatan dalam negara Indonesia yang berkaitan dengan kepentingan umum termasuk proses penentuan tujuan, upaya-upaya mewujudkan tujuan, pengambilan keputusan, seleksi dan penyusunan skala prioritasnya.
Sejarah Sistem Politik Indonesia bisa dilihat dari proses politik yang terjadi di dalamnya. Namun dalam menguraikannya tidak cukup sekedar melihat sejarah Bangsa Indonesia tapi diperlukan analisis sistem agar lebih efektif. Dalam proses politik biasanya di dalamnya terdapat interaksi fungsional yaitu proses aliran yang berputar menjaga eksistensinya. Sistem politik merupakan sistem yang terbuka, karena sistem ini dikelilingi oleh lingkungan yang memiliki tantangan dan tekanan.
Dalam melakukan analisis sistem bisa dengan pendekatan satu segi pandangan saja seperti dari sistem kepartaian, tetapi juga tidak bisa dilihat dari pendekatan tradisional dengan melakukan proyeksi sejarah yang hanya berupa pemotretan sekilas. Pendekatan yang harus dilakukan dengan pendekatan integratif yaitu pendekatan sistem, pelaku-saranan-tujuan dan pengambilan keputusan
Proses politik mengisyaratkan harus adanya kapabilitas sistem. Kapabilitas sistem adalah kemampuan sistem untuk menghadapi kenyataan dan tantangan. Pandangan mengenai keberhasilan dalam menghadapi tantangan ini berbeda diantara para pakar politik. Ahli politik zaman klasik seperti Aristoteles dan Plato dan diikuti oleh teoritisi liberal abad ke-18 dan 19 melihat prestasi politik dikuru dari sudut moral. Sedangkan pada masa modern sekarang ahli politik melihatnya dari tingkat prestasi (performance level) yaitu seberapa besar pengaruh lingkungan dalam masyarakat, lingkungan luar masyarakat dan lingkungan internasional.
Pengaruh ini akan memunculkan perubahan politik. Adapun pelaku perubahan politik bisa dari elit politik, atau dari kelompok infrastruktur politik dan dari lingkungan internasional.
Perubahan ini besaran maupun isi aliran berupa input dan output. Proes mengkonversi input menjadi output dilakukan oleh penjaga gawang (gatekeeper).
Terdapat 5 kapabilitas yang menjadi penilaian prestasi sebuah sistem politik :
1. Kapabilitas Ekstraktif, yaitu kemampuan Sumber daya alam dan sumber daya manusia. Kemampuan SDA biasanya masih bersifat potensial sampai kemudian digunakan secara maksimal oleh pemerintah. Seperti pengelolaan minyak tanah, pertambangan yang ketika datang para penanam modal domestik itu akan memberikan pemasukan bagi pemerintah berupa pajak. Pajak inilah yang kemudian menghidupkan negara.
2. Kapabilitas Distributif. SDA yang dimiliki oleh masyarakat dan negara diolah sedemikian rupa untuk dapat didistribusikan secara merata, misalkan seperti sembako yang diharuskan dapat merata distribusinya keseluruh masyarakat. Demikian pula dengan pajak sebagai pemasukan negara itu harus kembali didistribusikan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
3. Kapabilitas Regulatif (pengaturan). Dalam menyelenggaran pengawasan tingkah laku individu dan kelompok maka dibutuhkan adanya pengaturan. Regulasi individu sering memunculkan benturan pendapat. Seperti ketika pemerintah membutuhkan maka kemudian regulasi diperketat, hal ini mengakibatkan keterlibatan masyarakat terkekang.
4. Kapabilitas simbolik, artinya kemampuan pemerintah dalam berkreasi dan secara selektif membuat kebijakan yang akan diterima oleh rakyat. Semakin diterima kebijakan yang dibuat pemerintah maka semakin baik kapabilitas simbolik sistem.
5. Kapabilitas responsif, dalam proses politik terdapat hubungan antara input dan output, output berupa kebijakan pemerintah sejauh mana dipengaruhi oleh masukan atau adanya partisipasi masyarakat sebagai inputnya akan menjadi ukuran kapabilitas responsif.
6. Kapabilitas dalam negeri dan internasional. Sebuah negara tidak bisa sendirian hidup dalam dunia yang mengglobal saat ini, bahkan sekarang banyak negara yang memiliki kapabilitas ekstraktif berupa perdagangan internasional. Minimal dalam kapabilitas internasional ini negara kaya atau berkuasa (superpower) memberikan hibah (grants) dan pinjaman (loan) kepada negara-negara berkembang.
Ada satu pendekatan lagi yang dibutuhkan dalam melihat proses politik yaitu pendekatan pembangunan, yang terdiri dari 2 hal:
a. Pembangunan politik masyarakat berupa mobilisasi, partisipasi atau pertengahan. Gaya agregasi kepentingan masyarakat ini bisa dilakukan secara tawaran pragmatik seperti yang digunakan di AS atau pengejaran nilai yang absolut seperti di Uni Sovyet atau tradisionalistik.
b. Pembangunan politik pemerintah berupa stabilitas politik.
Ada macam-macam sistem politik yaitu :
· Democracy is a form of government organized in accordance with the principles of polular souvereignty, political equality, popular consultation and majority rule (Austin Ranney, 1982:278)
§ Kedaulatan rakyat
§ Persamaan politik
§ Konsultasi rakyat
§ Pemerintahan mayoritas (majority rule) David Beetham dan Kevin Boyle 91995:47 menyatakan adanya minoritas permanen=kelompok minoritas yang terbentuk atas dasar rasm agama, bahasam entisitas atau ciri permanen lainnya
§ Prinsip majority rule tidak cukup melindungi minoritas, oleh karena itu beberapa kebijakan dijalankan
§ Memberikan perwakilan proporsional
§ Memberikan hak veto
§ Memberikan otonomi khusus
· Otoriter/kediktatoran/totaliter artinya suatu bentuk pemerintahan dimana kekuasaan tertinggi untuk memerintah dipegang dan dijalankan oleh satu orang/kelompok kecil elit
· Carl J friederich dan Zbiegniew Brzezinki, ciri-cirinya adalah
§ Negara memiliki sebuah ideologi resmi
§ Mempunyai satu partai massa tunggal
§ Mengawasi seluruh kegiatan penduduk dan sistem teror
§ Monopoli media massa
§ Kontrol ketat dari militer
§ Pengendalian terpusat
Pasca runtuhnya rezim politik orde Baru-nya Suharto yang otoriter di tahun 1998. Indonesia, kemudian memasuki masa Reformasi, yang lantas disebut juga “Orde Reformasi”. Orde Reformasi dicirikan dengan terjadinya apa yang oleh O’Donnell dan Schmitter disebutnya fase “liberalisasi politik”. Fase ini secara teoritis sebagai fase transisi dari otoritarianisme entah menuju kemana”.
Apa yang disebut liberalisasi adalah proses pendefinisian ulang dan perluasan hak-hak. Liberalisasi merupakan proses mengefektifkan hak-hak yang melindungi individu dan kelompok-kelompok sosial dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh negara. Liberalisasi politik awal pasca Orde Baru ditandai antara lain terjadinya redefinisi hak-hak politik rakyat.
Ketika Orde Baru tumbang, setiap kalangan menuntut kembali hak-hak politiknya yang selama bertahun-tahun dikerangkeng oleh negara. Konsekuensi dari liberalisasi politik ditandai dengan terjadinya ledakan partisipasi politik. Ledakan ini terjadi dalam bentuk yang beragam. Pada tataran akar rumput (grass root), ledakan partisipasi politik banyak mengambil bentuk huru-hara, kekerasan massa, amuk massa, atau praktek penjarahan kolektif. Sementara ledakan partisipasi politik di kalangan elit di ditandai dengan maraknya pendirian partai politik.
Sebagai perwujudan dari ledakan partisipasi politik itu, para elit politik berlomba-lomba mendirikan kembali partai politik, sehingga jumlah partai politik banyak. Klimaks dari pendirian partai politik adalah diselenggarakannya pemilu di tahun 1999. Inilah pemilu pertama pasca Orde Baru dan pemilu kedua setelah pemilu 1955, yang oleh para pengamat asing disebut sebagai pemilu paling bersih.
Pemilu 1999 juga dijadikan tonggak awal Orde Reformasi. Sebagai orde transisi politik di Indonesia, maka sistem politik Indonesia di masa reformasi dianggap sebagai sistem politik yang juga bersifat transisi. Pertanyaan mendasar kemudian adalah, sampai kapan sistem politik Indonesia berkutat pada tataran transisi?
Kran demokrasi yang tertutup rapat selama 32 tahun, berimbas pada meledaknya partisipasi politik. Ini bukanlah hal yang mengejutkan, karena banyak kalangan yang telah memperhitungkan sebelumnya. Sebuah sistem politik yang sangat akut ini sedang mencari format terbaik, guna terciptanya sebuah sistem yang sehat seperti yang digambarkan oleh David Easton.
Sebuah sistem merupakan sebuah keseluruhan yang saling berinteraksi di dalamnya, di mana terdiri atas sub-sub sistem. Jadi sebagai sebuah keseluruhan, sistem politik Indonesia perlu adanya sebuah evaluasi ulang atas fungsi-fungsi lembaga berdasarkan aturan yang telah ada. Proses input sebuah kebijakan haruslah kebutuhan mendasar sebuah masyarakat yang ditafsirkan sebagai doa-doa makhluk terhadap Tuhannya, ibarat sebuah harapan.
Sehingga proses yang berjalan merupakan transformasi nilai-nilai kemanusiaan. Bukan berarti menafikan bahwa akan ada benturan kepentingan di dalamnya, atau doa-doa tidak berakomodasi sepenuhnya, akibat begitu banyaknya masyarakat Indonesia yang menjadi pengemis akibat keganasan sebuah rezim yang ‘menyulam’ lidah-lidah rakyat dengan benang sutra.
Reformasi yang terjadi pun adalah sebuah negosiasi kekuasaan elit lama yang merasa kecewa atas seniornya, sehingga regulasi yang berjalan harus dibayar dengan kelaparan di berbagai daerah. Perubahan adalah sebuah keniscayaan, reformasi yang terjadi juga sebuah keniscayaan yang tidak pernah diharapkan akan seperti ini, masyarakat pun kecewa dengan hal ini dan merasa sakit. Sebagai salah satu bagian dari sebuah sistem politik maka yang hadir adalah sebuah sistem politik yang tidak lagi menarik. Politisi terperangkap pada keistimewaan akan dirinya sehingga tidak lagi menganggap rakyat adalah bagian dari dunianya, yaitu politisi sebagai pelayan bagi umatnya, atau biasa disebut oleh kalangan agamawan sebagai sosok nabi.
Masa sekarang ini pun sistem politik Indonesia masih mengalami krisis yang memprihatinkan. Pasca reformasi yang harapannya akan ada format baru bagi dunia politik ternyata mengalami kebuntuan. Hal ini dapat dilihat dari partai politik yang menjadi bangunan dasar demokrasi, belum mampu untuk menjalankan fungsinya dengan baik. Perubahan yang terlihat hanyalah pada kuantitas partai, tapi masih menggunakan pola lama, artinya belum ada perubahan yang mendasar dari reformasi yang dicita-citakan.
Sistem politik ini merupakan bagian dari sebuah sistem yang besar, sehingga hal ini berimbas pada sektor yang lain. Seperti sebuah virus yang menjangkiti sebuah bangsa, maka diperlukan seorang dokter dengan jarum suntik di tangannya untuk menyembuhkan bangsa ini. Jarum suntik ini adalah pendidikan politik yang merata, karena partisipasi politik masyarakat belumlah cukup. Untuk itu dibutuhkan teropong yang lebih besar buat melihat masalah yang hadir.
Transformasi nilai yang saya maksud di atas tadi adalah puncak tertinggi nilai-nilai universal, yaitu filsafat politik. Filsafat politik sebagai nilai-nilai universal adalah konstitusi tertinggi kemanusiaan, yang membawa kita pada kemakmuran bersama. Jika mencoba membawanya pada realitas politik, maka haru ada sebuah kedinamisan dan keadilan pengetahuan atau yang dibahasakan oleh Muhammad Hatta pendidikan politik, guna pencapaian cita-cita filsafat politik.
Legitimasi yang hadir saat ini adalah semu, karena tampil sebagai topeng, rezim yang hadir pun hanya menjadikannya tiket menuju kelas yang lebih tinggi, setelah sampai ditujukan dengan mudah untuk membuangnya ke dalam keranjang sampah. Kondisi yang seperti ini terjadi tidak lain akibat pengetahuan masyarakat yang masih kurang terhadap politik. Pemahaman atas politik masih jauh dari harapan para filosof, sementara ilmu politik begitu dinamis dan terus berkolaborasi dengan konteks budaya yang ada.
Keberagaman budaya yang ada pada bangsa kita sangat berpengaruh pada perangkat politik yang ada pula, perangkat politik yang sangat penting saya kira adalah partai politik yang melakukan adaptasi sebagai jawaban atas tantangan modernitas. Oleh karena itu dibutuhkan partai yang modern pula mengingat kebutuhan manusia yang semakin kompleks. Bukan hanya itu partai pulalah yang harus menggantikan tanggung jawab negara untuk memberikan pendidikan politik bagi masyarakat luas.
Sudah saatnya partai politik menebus budi atas suara yang telah diberikan padanya oleh rakyat, dan menjadi tanggung jawab bersama untuk menuju kemakmuran bersama. Kemudian tantangan yang kedua adalah, partai politik harus belajar untuk mandiri dalam banyak hal, mengingat kondisi bangsa yang carut-marut. Untuk pembiayaan kampanye saja negara masih harus menanggungnya, ini memperlihatkan bahwa partai politik masih sangat dimanjakan.
Banyaknya bencana kemanusiaan yang melanda bangsa ini, seharusnya partai politik memperlihatkan eksistensinya pada rakyat, bukan hanya pada momen tertentu saja. Dari sini dapat dikatakan bahwa partai politik belum mampu menjalankan fungsinya di dalam masyarakat. Oleh karena dibutuhkan kedinamisan maupun keseimbangan komponen-komponen yang ada dalam sebuah sistem, maka komponen-komponen tersebut harus menjalankan fungsinya dengan baik. Sistem ini pun tidak terlepas dari pengaruh yang hadir dari luar.
Logika politik luar negeri yang ada pun membenarkan asumsi tersebut, di mana politik luar negeri merupakan cerminan politik dalam negeri. Sehingga dibutuhkan kondisi politik yang kuat untuk dapat menunjukkan eksistensi bangsa pada lingkup global. Pendidikan politik yang adil serta memanusiakan manusia adalah cita-cita kemakmuran itu, dan sebagai sebuah sub-sistem dari sistem yang lebih besar, yaitu dunia politik yang humanis telah menjadi kebutuhan yang meniscayakan sebuah bangsa yang kuat.
Perlu diingat bahwa pendidikan politik itu bukan hanya pada masyarakat saja, tapi juga bagi elit politik sebagai pemegang peran penting dalam sebuah kebijakan. Hal ini menjadi sangat penting melihat realitas politik yang ada di Indonesia bahwa elit yang hadir bukanlah orang-orang yang begitu paham dengan politik. Sehingga kebijakan yang lahir pun tidak lagi menjadi alat untuk mensejahterakan rakyat, tapi sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan dan menjadi budak nafsu keserakahan binatang.
Jadi sistem politik Indonesia harus dilihat sebagai sebuah keseluruhan yang saling mempengaruhi, bukan ditafsirkan secara sempit sebagai sebuah kesalahan sebuah rezim atau kejahatan elit politik semata.
Sistem politik digambarkan secara sederhana oleh David Easton sebagai sebuah proses pembuatan kebijakan (konversi). Proses ini tidak lahir begitu saja. Ada sebuah proses yang mendahuluinya, yakni proses input atau masukan. Proses input ini terdiri dari setidaknya dua variabel, yakni dukungan dan tuntutan (suplay and demand). Adapun setelah terjadinya proses konversi dari kedua variabel input tersebut, maka proses itu lantas disebut keluaran atau output. Keluaran dari sebuah sistem politik dengan demikian disebut sebagai hasil kebijakan atau kebijaksanaan. Kebijakan atau kebijaksanaan yang dilahirkan dari sebuah proses konversi dari sebuah sistem politik tidak dengan sendirinya berakhir, melainkan terus berproses dalam bentuk umpan balik (feed-back). Demikian seterusnya, bahwa proses politik dari sebuah sistem politik tidak akan pernah berakhir karena adanya proses feed-back tersebut.
Ambillah contoh kasus terhadap kenaikan harga bahan bakar minyak (disingkat: BBM). Naiknya harga BBM di awal Maret 2005 lalu, tak luput dari beragam penilaian. Mulai dari aksi demonstrasi menolak kenaikannya sampai kemudian persetujuan bahwa kenaikan harga BBM tak mungkin lagi kita tolak atau tahan, dengan dua alasan mendasar. Pertama, karena harga minyak dunia sementara melonjak. Kedua, untuk mengurangi pembiayaan negara (subsidi) atas sebagian besar masyarakat yang seharusnya tidak layak untuk disubsidi, yakni orang-orang kaya.
Proses inputnya terdiri dari dua, kelompok yang menolak naiknya harga BBM yang diwakili secara pas oleh kelompok mahasiswa dan para aktivis buruh yang memang secara nyata paling rentan terancam dengan kebijakan tersebut. Kelompok kedua adalah mereka yang mendukung kenaikan harga BBM. Kelompok yang mendukung ini dapat dibagi dua, kelompok yang melihatnya sebagai bagian dari penyelamatan ekonomi negara (anti subsidi) dan kelompok yang secara langsung dan tak langsung justru diuntungkan dengan naiknya harga BBM (para pendukung neo-liberalis).
Ketika dikonversi untuk dijadikan sebagai sebuah kebijakan, yakni bagaimana seharusnya BBM itu dikelola. Terjadi proses tarik-menarik kepentingan di dalam parlemen Indonesia (DPR). Antara partai politik yang mendukung dan tidak mendukung naiknya harga BBM. Proses politik yang terjadi, pada awalnya, demikian alot dan keras. Partai-partai politik yang anti kenaikan BBM kelihatan sangat bersungguh-sungguh untuk tetap sejalan dengan sebagian masyarakat untuk menolak naiknya harga BBM.
Tetapi karena kuatnya kekuatan kelompok yang mendukung naiknya harga BBM di DPR, kebijakan naiknya harga BBM tidak dapat diubah lagi. Kebijakan itu dengan sendirinya menjadi output dari pemerintahan SBY-Kalla. Tetapi meski demikian, ada sebuah kebijakan yang juga lahir di samping kebijakan naiknya harga BBM, yakni kebijakan kompensasi (bantuan langsung tunai, disingkat: BLT) bagi masyarakat kecil yang terimbas dengan keluarnya kebijakan menaikkan BBM.
Pada tataran feed-back atau umpan balik. Jelaslah bahwa hingga saat ini, sebagian masyarakat masih tetap menolak kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan yang ada. Adapun kebijakan BLT pada kenyataannya tidak mampu menjadi penopang ekonomi masyarakat menghadapi kenaikan harga sembako. Apalagi ternyata, yang mendapatkan BLT tidak semuanya berkategori miskin, yang menurut pemerintah mereka-mereka inilah yang seharusnya mendapatkannya. Kebijakan BLT ternyata tetap disalahgunakan oleh aparat pemerintah di tingkatan bawah. Akibat yang terjadi kemudian adalah terjadinya pemiskinan secara terstruktur oleh negara terhadap masyarakatnya.